Senin, 15 Maret 2021

Ketimpangan Akses Kebutuhan Dasar Anak di Indonesia

 


Dibalik tumbuh dan berkembangnya karakteristik seorang anak, mulai dari pertumbuhan fisik anak usia dini, pengembangan kepribadian anak usia sekolah, sampai didapatkan masa pubertas anak remaja, terkandung aset bangsa yang sangat berharga.  Mereka adalah penerus dan penentu masa depan. Setiap potensi baik anak, sudah seharusnya tidak dilumpuhkan. Karena diusianya, mereka mau dan mampu menyerap apa saja. Oleh karenanya, mengawal dan menjaga potensi baik anak merupakan hal terpenting. Setidaknya memberikan pemenuhan kebutuhan dasar seorang anak harus menjadi sebuah kewajiban atau setidaknya merupakan prioritas. Ketimpangan kesempatan anak terhadap kebutuhan dasarnya tentu saja akan menghambat hadirnya masa depan cerah suatu bangsa.

Menilik hasil Sensus Penduduk 2020, tercatat ada sekitar 80 juta anak Indonesia. Anak adalah  setiap  manusia  yang  berusia  di bawah  18  (delapan  belas)  tahun  dan  belum  menikah, termasuk anak  yang  masih  dalam  kandungan. Definisi ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jumlah anak Indonesia hampir sepertiga populasi penduduk Indonesia. Jumlah yang terbilang besar dan jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara maka jumlahnya melebihi dari populasi penduduk negara Malaysia, Myanmar, Thailand, dan hanya lebih kecil dari Vietnam dan Filipina.

Dengan kondisi geografisnya, Indonesia belum bisa terhindar dari berbagai bencana alam. Beberapa daerah di Indonesia masih terjadi tanah longsor, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, angin puting beliung, dan lain-lain. Kejadian bencana alam tentu dapat berdampak signifikan terhadap kondisi anak. Menjadi tantangan yang berat bagi tiap orang tua, keluarga, bangsa, dan negara dalam menyediakan kesempatan kepada tiap anak agar dapat memanfaatkan akses kebutuhan dasarnya.

Penyediaan dan peningkatkan akses kebutuhan dasar  bagi  masyarakat Indonesia,  seperti  pendidikan,  kesehatan,  gizi,  keamanan,  dan infrastruktur dasar lainnya, selalu diupayakan oleh pemerintah. Namun demikian, tidak semua masyarakat Indonesia berkesempatan  yang  sama dalam mengaksesnya. Diantaranya, masih terdapat ketimpangan kesempatan anak terhadap akses kebutuhan dasarnya. Hal ini menunjukkan adanya faktor-faktor penghambat seseorang  anak untuk  dapat memanfaatkan  kesempatan yang tersedia.

World Bank telah mengembangkan Human Opportunity Index (HOI) untuk mengukur keberadaan   individu di  suatu  negara  yang  belum  memiliki  akses  terhadap  kebutuhan  dasar  hidup mereka. Metode ini mengukur  rata-rata  ketersediaan  (coverage)  kebutuhan  dasar  tertentu dengan  memperhatikan tingkat kemerataan  distribusi  layanan  tersebut  pada masyarakat, yang  disebabkan  oleh keadaan sosial, ekonomi, dan demografi individu.  Peningkatan  coverage  pelayanan  dasar  akan meningkatkan kesempatan yang tersedia dan secara otomatis ketimpangan kesempatan akan menurun. 

Ketimpangan Akses Pendidikan Anak

Pendidikan dasar dan pendidikan menengah merupakan kebutuhan dasar dan esensial bagi anak. Harus disadari bahwa pendidikan mampu memutus lingkaran ketimpangan yang berujung pada kemiskinan. Berdasarkan kajian ketimpangan kesempatan anak terhadap pelayanan kebutuhan dasar di Indonesia oleh BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2019,  rata-rata peluang akses anak (usia 7-15 tahun) berkesempatan mengikuti pendidikan dasar (SD-SMP) pada rentang tahun 2016-2018 lebih dari 97 persen, dengan tren meningkat dari tahun ke tahun. Dalam hal ini berarti  kesempatan  atas pendidikan  dasar  di  Indonesia  dapat dibilang hampir merata dengan ketimpangan yang rendah.

Berbeda halnya untuk pendidikan menengah (SMA/Sederajat), kesempatan anak (usia 16-18 tahun) Indonesia berdasarkan prinsip kesetaraan baru sekitar  66  persen  sampai  dengan  68 persen  sepanjang tahun 2016-2018. Realitasnya memang semakin  tinggi  tingkat pendidikan, maka tingkat partisipasi sekolah cenderung menurun. Keterbatasan fasilitas infrastruktur penyelenggara pendidikan menengah, dan akses menuju fasilitas pendidikan yang kurang mendukung merupakan beberapa pembedanya. Pencanangan program wajib belajar 6 tahun sejak tanggal 2 mei 1984, yang dilanjutkan wajib  belajar  9  tahun sejak tahun 1994, dan wajib belajar 12 tahun sejak tahun 2015 harus tetap digelorakan dan dioptimalkan dalam pelaksanaannya. Masih adanya ketimpangan ini, ke depan harus semakin dikikis, terlebih pemerintah berkewajiban dalam mengalokasikan APBN untuk bidang pendidikan sebesar 20 persen, dan juga keberadaan program lainnya seperti adanya dana BOS untuk sekolah. Pangkal utama yang berpengaruh terhadap ketimpangan kesempatan pendidikan di Indonesia adalah pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini diikuti oleh faktor pengeluaran  per kapita, dan daerah tempat tinggal rumah tangga. Peningkatan level ketiga faktor yang melekat pada rumah tangga tersebut bakal mengikis keberadaan ketimpangan akses pendidikan anak.

Ketimpangan Akses Perumahan yang sehat Anak

Air  minum  layak  menjadi  salah  satu  komponen  penting  dalam perkembangan dan pertumbuhan anak. Masih adanya rumah tangga yang terbiasa mengonsumsi air minum tak layak, sama halnya dengan mengundang berbagai penyakit masuk ke tubuhnya. Tentu saja hal ini tidak searah dengan salah satu tujuan Sustainable  Development  Goals  (SDGs) yaitu  menjamin ketersediaan  serta  pengelolaan  air  bersih  dan  sanitasi  yang  berkelanjutan untuk semua.

Sepanjang tahun 2016-2018, kesempatan  anak  untuk  mendapatkan  akses  air minum layak semakin terdistribusi merata, meskipun belum mencapai harapan terbaik. Dengan  prinsip  kesetaraan,  peluang seorang  anak  dapat  mengakses  air  minum  layak  di  tahun  2016  sebesar 64,77 persen, meningkat menjadi 68,30 persen pada tahun  2018.  Faktor terbesar yang mempengaruhi ketimpangan akses seorang anak terhadap air minum layak di Indonesia dari tahun ke tahun adalah daerah tempat tinggal. Dalam perbandingannya, daerah tempat tinggal di perkotaan lebih baik daripada di pedesaan. Faktor terbesar berikutnya adalah pengeluaran per kapita dan  pendidikan kepala rumah tangga. Tersimpulkan secara sederhana, seorang anak yang  tinggal  di  daerah  perkotaan,  berasal  dari  rumah  tangga  dengan pengeluaran  per  kapita  tinggi  serta  mempunyai  kepala  rumah  tangga  yang berpendidikan  tinggi  akan  mempunyai  kesempatan  lebih  besar  untuk  bisa mengakses air minum layak dibandingkan kondisi berkebalikannya.

Masih terkait kebutuhan dasar berupa perumahan yang sehat, sanitasi yang layak merupakan salah satu unsurnya. Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan yang  mempengaruhi  derajat  kesehatan  masyarkat.  Sanitasi  yang  buruk  akan berdampak negatif pada kehidupan manusia, mulai dari menurunnya kualitas hidup  masyarakat,  sumber  air  minum  yang  tercemar,  hingga  meningkatnya penyakit  menular.

Masih dalam kajian yang sama, akses sanitasi layak di Indonesia terlihat semakin meningkat, sehingga ketimpangan aksesnya mengalami penurunan. Di tahun 2016, kesempatan akses sanitasi layak sebesar 58,26 persen. Sedangkan di tahun 2017 dan 2018  meningkat  dengan  nilai  masing-masing  sebesar  58,36  persen  dan  60,69 persen. faktor terbesar  yang  mempengaruhi  akses  seorang  anak  terhadap  sanitasi  layak adalah faktor daerah tempat tinggal. Jika dibandingakan dengan kesempatan anak untk mengakses air minum layak di Indonesia, kemerataan akses sanitasi layak ternyata tidak lebih baik.

Unsur perumahan sehat berikutnya adalah keberadaan  listrik  yang mampu  menggerakkan  akses pelayanan dasar lain seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi. Keberadaan listrik sangat esensial saat ini karena bisa sebagai penggerak perekonomian dan faktor penentu majunya suatu  negara. Terdapat sekitar 97,13 persen kesempatan akses listrik telah dialokasikan berdasarkan prinsip kesetaraan pada tahun 2018, meningkat 1,63 persen dibandingkan tahun 2016. Daerah tempat tinggal merupakan kontributor terbesar pada tahun 2018 yang menunjukkan adanya ketimpangan kesempatan akses listrik.

Ketimpangan  Akses Teknologi  Dan Informasi Anak

Di era digital saat ini dengan gaung populernya revolusi industri 4.0, teknologi dan informasi seakan telah menahbiskan diri menjadi sebuah kebutuhan primer yang memaksa harus dipenuhi. Terlebih untuk anak dalam menghadapai  persaingan  global guna meraih cita-citanya. Kesannya semakin kuat dan cepat manakala berada di tengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda di Indonesia. Dari aktivitas keseharian yang terbiasa bertatap muka langsung menjadi aktivitas yang daring (online). Hal ini sebagai bagian penyesuaian diri dalam tatanan kehidupan baru di tengah pandemi.

Ketersediaan  kesempatan  yang  sama  dalam  mengakses  teknologi  dan  informasi bagi setiap  anak  saat ini menjadi prioritas. Terutama hal ini dalam mendukung pembelajaran jarak jauh di sekolah. Adanya ketimpangan penggunaan teknologi dan informasi berupa penggunaan komputer  pada  anak  merupakan  permasalahan  yang  kompleks. Pada tahun 2018, hanya sekitar 18 persen kesempatan penggunaan akses PC/Laptop/Komputer telah dialokasikan dengan prinsip kesetaraan. Pada waktu yang sama, baru sekitar 29 persen kesempatan terhadap akses internet telah dialokasikan dengan prinsip kesetaraan. Ketimpangan kesempatan penggunaan akses PC/Laptop/Komputer lebih besar daripada akses internet. Diketahui bahwa akses penggunaan PC/Laptop/Komputer dan akses internet sangat dipengaruhi oleh faktor pengeluaran per kapita.

Dari berbagai uraian perihal akses kebutuhan dasar anak  di Indonesia di atas, dapat diketahui bahwa ketimpangan kesempatan  anak  yang dominan adalah   kesempatan   akses   terhadap   teknologi   dan   informasi yang dalam hal ini meliputi akses penggunaan laptop/komputer/pc dan internet. Hal ini tentu harus menjadi perhatian utama. Secara umum, pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah/pemerintah daerah harus berupaya memaksimumkan    tingkat    akses    rata-rata ketersediaan (coverage) tiap kebutuhan dasar anak dan meminimumkan tingkat  ketimpangan  kesempatan. Pemerintah yang mampu mengambil  kebijakan  yang  tepat  dalam  memberikan  pelayanan kebutuhan dasar untuk anak tentunya akan dapat menghantarkan masyarakat yang adil dan makmur, dengan tingkat kesejahteraan yang merata.

                                                                                                                  Suprapto,S.Si.,M.Si

                                                       Penulis adalah Statistisi, Pemerhati Sosial dan Ekonomi



Tidak ada komentar: