Sebelum
pandemi Covid-19, Bali telah dikenal luas hingga mancanegara oleh karena faktor
keindahan alam dan atraksi seni serta budayanya. Kedua hal tersebut serasa
magnet yang mampu memikat banyak orang untuk berkunjung. Paduan apik inilah
yang kemudian memberi kontribusi besar bagi perputaran roda ekonomi Bali. Pesona
pariwisata berkelas dunia yang didukung oleh industri-industri berbasis karya
seni, telah mengantarkan Bali menjadi salah satu wilayah dengan perputaran
ekonomi relatif kencang di Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh pertumbuhan
ekonomi Bali yang selalu lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Tidak hanya itu, IPM Bali yang tergolong tinggi, yang berarti kepemilikan
sumber daya manusia di Bali yang unggul sebagai faktor produksi, meneguhkan
kekuatan dan posisi ekonomi Bali.
Namun demikian, saat pandemi Covid-19 melanda dunia dan masuk ke Indonesia pada awal tahun 2020, daya tarik Bali hampir dibilang tak pernah pudar. Hanya saja
orang yang akan berkunjung ke Bali harus berpikir sekian kali. Tak lain dan tak bukan oleh karena adanya sejumlah tata kehidupan baru. Hal ini merupakan dampak dari berbagai langkah antisipasi untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19. Seperti diketahui, pemerintah provinsi Bali sebelumnya telah menurunkan kebijakan himbauan physical distancing, pemberlakuan work from home (WFH)/ school from home (SFH), pembatasan/penutupan pusat perbelanjaan dan tempat wisata, pembentukan satuan tugas gotong royong pencegahan Covid-19 berbasis desa adat, hingga pengetatan persyaratan pendatang yang akan masuk ke Bali jelang awal tahun baru 2021 hingga saat ini. Penurunan drastis orang yang berkunjung ke Bali, seakan secara cepat membalikkan kondisi perekonomian Bali. Pertumbuhan ekonomi Bali yang selalu tinggi di atas pertumbuhan nasional, terjun bebas menjadi yang terendah. Semua pelaku usaha di Bali terdampak, terutama pada sektor pariwisata beserta penopang terdekat lainnya. Hampir bisa dikata, kemapanan ekonomi yang sebelumnya dirasakan pelaku usaha di Bali sebelum pandemi Covid-19, tiba-tiba bergejolak dan pelaku usaha harus kembang kempis melakukan adaptasi diri agar dapat bertahan.Mencoba
melihat berapa banyak dan bagaimana dampak pandemi Covid-19 bagi pelaku usaha penggerak
perekonomian Bali, data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hasil Sensus Ekonomi
2016 (SE2016) menyebutkan terdapat sekitar 482 ribu usaha yang ada di Bali. Dari
sejumlah itu terdapat sekitar 468 ribu usaha yang merupakan Usaha Mikro Kecil
(UMK), dan selebihnya merupakan Usaha Menengah Besar (UMB). Ini berarti ada
sekitar 97 persen pelaku usaha yang ada di Bali merupakan UMK. UMK adalah
kelompok usaha yang memiliki omset tak lebih dari 2,5 milyar dalam setahun atau kepemilikan
jumlah pekerja kurang dari 20 orang, sedangkan UMB adalah kelompok usaha yang
memiliki omset lebih dari 2,5 milyar atau kepemilikan jumlah pekerja 20 orang
atau lebih. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dalam perekonomian
nasional termasuk Bali memiliki peran penting dan strategis, pada saat SE2016
digolongkan sebagai UMK.
Jumlah
UMK di Bali merupakan kategori usaha yang terbanyak dan tentu saja mayoritas
terdampak pandemi Covid-19. Meski terbanyak, namun dari UMK tersebut, hampir 90
persen memiliki omset rata-rata kurang dari Rp. 300 juta setahun, sedangkan
yang beromset antara Rp.300 juta hingga Rp. 2,5 milyar hanya sekitar 10 persen.
Dilihat lebih jauh, UMK di Bali dari
hasil SE2016, tercatat sekitar 40 persen
bergerak pada usaha perdagangan, 25 persen usaha industri pengolahan, sedangkan
usaha akomodasi dan makan minum, meskipun dari kontribusi ekonomi Bali merupakan
yang terbesar, namun jumlahnya hanya sekitar 17 persen atau sekitar 86 ribu
usaha. Dengan kondisi demikian, bisa dibayangkan bagaimana dan berapa banyak dampak
pandemi Covid-19 yang dirasakan oleh seluruh pelaku usaha di Bali saat ini.
Sebagai
gambaran terkini yang dapat dilihat dari hasil survei dampak Covid-19 terhadap
pelaku usaha yang dilakukan BPS, yang dikumpulkan secara daring (on line) pada tanggal 8-23 Oktober 2020,
sektor perekonomian Bali pada masa pandemi Covid-19 memang menjadi tidak
bergairah sehingga tidak sedikit pelaku usaha yang menutup sementara/permanen
usahanya. Dari 851 responden pelaku usaha di Bali yang berpartisipasi mengikuti
survei tersebut, dalam operasional usahanya, ada
sekitar 42 persen usaha/perusahaan mengurangi kapasitas output usahanya, 13 persen
tutup sementara, 9 persen berhenti
beroperasi, 8 persen memberlakukan WFH sebagian pekerja, dan 3 persen memberlakukan
WFH seluruh pekerja. Meski demikian masih ada 22 persen usaha/perusahaan yang
operasionalnya sama dengan sebelum pandemi, bahkan ada 3 persen yang kegiatan
operasionalnya justru meningkat. Di kabupaten/kota se-Bali rata-rata usaha/perusahaan
yang mengalami pengurangan kapasitas outputnya hampir sebanyak 50 persen,
terkecuali di Karangasem sekitar 36 persen dan Jembrana hanya sekitar 30
persen.
Terdapat berbagai kendala yang dihadapi oleh pelaku
usaha/perusahaan selama pandemi Covid-19, dengan yang terbanyak berupa kendala
pemasaran/penjualan. UMK yang terkendala pemasaran ada sekitar 51 persen
sedangkan UMB sekitar 58 persen. Untuk UMK, selain pemasaran, kendala terbesar
berikutnya adalah dalam hal pembayaran utang (32,54 persen) dan pembayaran upah
tenaga kerja (28,96 persen). Hanya ada sekitar 12 persen UMK yang merasa tidak
ada kendala dalam menjalankan usahanya. Sedangkan untuk UMB, selain pemasaran,
kendala terbesar berikutnya adalah dalam hal pembayaran upah tenaga kerja (52,41 persen) dan pembayaran tagihan listrik,
air, telepon, dan gas (38,50 persen). Hanya ada sekitar 9 persen UMB yang
merasa tidak ada kendala dalam operasional usahanya.
Terungkap
pula dalam survei di atas, kebutuhan pelaku usaha agar usahanya tetap bertahan
bahkan meningkat di masa pandemi Covid-19. Jenis bantuan yang dibutuhkan oleh
UMK mempunyai penetrasi lebih tinggi dibanding UMB. Untuk UMK, beberapa bantuan
pemerintah yang dibutuhkan oleh pelaku usaha diantaranya adalah bantuan modal
usaha (82,96 persen), keringanan tagihan listrik untuk usaha (74,11 persen),
bantuan pemasaran (68,82 persen), kemudahan administrasi untuk pengajuan
pinjaman (62,52 persen), relaksasi/penundaan pembayaran pinjaman (59,09 persen),
dan penundaan pembayaran pajak (54,34 persen). Dalam hal ini, prioritas bantuan
yang dibutuhkan sedikit berbeda dengan UMB.
Bantuan pemerintah yang dibutuhkan oleh pelaku usaha UMB diantaranya
adalah keringanan tagihan listrik untuk usaha (74,33 persen), bantuan pemasaran
(66,84 persen), penundaan pembayaran pajak (63,10 persen), bantuan modal usaha
(54,01 persen), relaksasi/ penundaan pembayaran pinjaman (53,48 persen), dan kemudahan
administrasi untuk pengajuan pinjaman (46,52 persen).
Pemerintah
sejatinya sejak awal tidak tinggal diam dalam hal ini, terbukti dari hasil
survei di atas, berbagai jenis bantuan yang dibutuhkan, beberapa responden
mengaku telah menerimanya. Namun demikian, persentase pelaku usaha penerima
berbagai jenis bantuan pemerintah tersebut relatif masih kecil bahkan belum
mencapai separuhnya. Perhatian utama dan prioritas tentunya harus ditujukan kepada
pelaku usaha UMK, karena tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini peran UMK
cukup vital dalam perekonomian Bali bahkan nasional. Vitalitas peran UMK tidak
hanya menjadi tumpuan ekonomi penduduk Bali namun juga sebagai kelompok usaha
yang dipercaya mampu memperkuat sendi perekonomian Bali maupun nasional di
berbagai kondisi. Proteksi ekonomi dan penguatan investasi pada skala UMK
hendaknya tetap diperkuat untuk dapat keluar dari dampak pandemi Covid-19. Bahkan
hal ini demi keberlanjutan perekonomian di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar