Jelang di penghujung tahun 2020, masyarakat Indonesia terkesiap manakala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) atas dugaan tindak pidana korupsi. Tak tanggung-tanggung, OTT menyasar oknum pejabat puncak kementerian, pimpinan daerah, dan lainnya. Jelas hal ini menjadi prestasi penegak hukum namun menjadi naif dan tragis terhadap tumbuh kembangnya budaya korupsi yang terjadi. Lebih parahnya terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang sedang terhimpit dampak global pandemi Covid-19.
Secara
mendasar bangunan permisif terhadap korupsi dapat dilihat dari bangunan
persepsi dan perilaku yang ada di tengah-tengah keluarga, komunitas, dan publik
secara umum. Hal ini bisa saja terjadi dan dilakukan oleh masyarakat kecil
hingga pejabat tinggi, baik yang ada di pedesaan maupun perkotaan, bahkan dari
yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak. Perlu disadari bahwa korupsi tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi. Salah satu akar penyebab berkembangnya praktik
korupsi diduga berasal dari rendahnya integritas para pelakunya dan masih
kentalnya budaya permisif terhadap tindakan korupsi. Untuk mengetahui
perkembangan perilaku anti korupsi di Indonesia dengan skala kecil, BPS
merumuskannya dalam Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK).
Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK)
IPAK menyediakan
data dan informasi perilaku korupsi masyarakat melalui dua dimensi yaitu
dimensi persepsi dan dimensi pengalaman. Dimensi persepsi berupa penilaian/ pendapat masyarakat terhadap
beberapa kebiasaan/ perilaku anti korupsi di masyarakat. Sementara itu, dimensi
pengalaman berupa pengalaman anti korupsi yang terjadi di masyarakat. Dimensi
persepsi disusun atas tiga subdimensi, yaitu subdimensi keluarga, komunitas,
dan publik. Sementara itu, dimensi pengalaman terdiri atas dua subdimensi,
yaitu subdimensi pengalaman mengakses layanan publik dan pengalaman lainnya.
Data IPAK berasal dari hasil Survei Perilaku
Anti Korupsi (SPAK) oleh BPS. SPAK mengukur permisivitas masyarakat
terhadap perilaku-perilaku korupsi di Indonesia. SPAK Mengukur
penilaian, pengetahuan, dan perilaku anti korupsi individu di Indonesia. SPAK mengukur
sejauhmana budaya zero tolerance
terhadap perilaku korupsi. Kegiatan SPAK 2020 dilaksanakan di seluruh wilayah
Indonesia yang tersebar di 171 kabupaten/kota dan di 34 provinsi. Hal ini
penting bagi pemerintah karena dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024, dinyatakan bahwa salah satu sasaran nasional yang
ingin diwujudkan adalah meningkatnya IPAK menjadi 4,14 pada tahun 2024.
Berdasar rilis data BPS, perilaku antikorupsi
masyarakat Indonesia tahun 2020 semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh IPAK
Indonesia tahun 2020 sebesar 3,84 dengan skala 0 sampai 5. Angka ini lebih
tinggi dibandingkan capaian tahun 2019 sebesar 3,70. Jika nilai IPAK semakin
mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi,
sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat
berperilaku semakin permisif terhadap korupsi. Perkembangan IPAK cenderung
mengalami fluktuasi dari tahun pertama
diselenggarakan SPAK sejak 2012 sampai tahun 2020. Tidak ada fenomena perubahan
ekstrim sepanjang perode tersebut dengan IPAK terendah pada tahun 2012 sebesar
3,55 dan tertinggi pada tahun 2020 sebesar 3,84.
Jika
ditelaah dimensi dalam IPAK, Indeks Persepsi pada tahun 2020 sebesar 3,68
persen, menurun 0,12 poin dibandingkan Indeks Persepsi tahun 2019. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih permisif terhadap perilaku korupsi.
Berbeda dengan Indeks Persepsi, Indeks Pengalaman tahun 2020 sebesar 3,91,
nilainya naik drastis sebesar 0,26 poin dibanding tahun 2019. Tersirat peningkatan
ini ditunjukkan dengan membaiknya sistem pelayanan publik di Indonesia. Hal ini
diduga karena spirit semua kementerian/lembaga, dan pemerintah pusat/daerah dalam
berlomba membangun Zona Integritas (ZI), Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), dan Wilayah
Birokrasi Bersih Melayani (WBBM). Dengan adanya perubahan ke arah yang lebih
baik atas sistem pelayanan publik maka dimensi pengalaman ini mampu terkerek
menjadi cukup tinggi di tahun 2020.
Potret IPAK berdasarkan Wilayah,
Pendidikan, dan Umur
Rilis
data hasil SPAK 2020 BPS menunjukkan bahwa masyarakat di
daerah perkotaan lebih antikorupsi dibandingkan di perdesaan. Hal ini terlihat
dari IPAK masyarakat perkotaan yang selalu lebih tinggi dibanding IPAK di
perdesaan. Dilihat dari jarak IPAK keduanya, ada jarak cukup lebar rentang
2012-2019, yaitu berjarak rata-rata 0,27. Namun
demikian jarak indeks tersebut terkikis menjadi hanya 0,06 pada tahun 2020,
dimana IPAK masyarakat perkotaan sebesar 3,87, sedangkan di perdesaan sebesar
3,81. Hal ini mengindikasikan peningkatan perilaku antikorupsi yang cukup pesat
pada masyarakat pedesaan dengan kualitas hampir serupa dengan di perkotaan.
Jika
ditinjau dari tingkat pendidikannya, semakin tinggi pendidikan seseorang maka IPAK
akan semakin tinggi. Dengan kata lain, tingkat pendidikan mempengaruhi perilaku
antikorupsi. Terlihat rentang tahun 2012-2020, IPAK masyarakat berpendidikan di
atas SLTA masih paling tinggi sedangkan yang berpendidikan di bawah SLTA paling
rendah. Pada tahun 2020, IPAK yang berpendidikan di bawah SLTA sebesar 3,80, tingkat
SLTA sebesar 3,88, dan tingkat di atas SLTA sebesar 3,97. Namun demikian dalam
empat tahun terakhir ada kecenderungan IPAK masyarakat berpendidikan SLTA, dan
di atas SLTA sedikit menurun, sedangkan IPAK di bawah SLTA naik cukup tinggi
meski belum menyalip IPAK yang berpendidikan di atasnya.
Berdasar
tinjauan umurnya, pada tahun 2020 masyarakat yang berumur 18-40 tahun paling
antikorupsi dibanding kelompok umur 40-59 tahun dan umur 60 tahun atau lebih.
Bisa diindikasikan bahwa di usia 18-40 tahun masih tertanam idealisme yang
tinggi dan berangsur-angsur menjadi pragmatis/permisif di usia di atasnya. Rentang
tahun 2012-2019, penduduk berumur 60 tahun atau lebih paling permisif dibanding
kelompok umur lainnya. Namun demikian pada tahun 2020 penduduk berumur 60 tahun
ke atas memiliki nilai indeks yang meningkat dan hampir menyamai dengan kedua
kelompok umur lainnya. IPAK 2020 masyarakat
berumur 18-40 tahun sebesar 3,85, umur 40-59 tahun sebesar 3,84, dan umur 60
tahun ke atas sebesar 3,82. Spirit antikorupsi diyakini sudah cukup menjalar
disemua kelompok umur tersebut.
Potret Umum Permisivitas Masyarakat
terhadap Korupsi
Permisivitas
terhadap korupsi dapat dilihat lebih jauh dalam rilis data IPAK oleh BPS
berdasar subdimensi masing-masing dimensi yang membentuk IPAK. Hal ini
dimaksudkan dengan melihat perilaku individu secara umum dalam lingkup
keluarga, komunitas, maupun di publik serta pengalaman individu dalam mengakses layanan publik
maupun pengalaman lainnya. Secara umum pada tahun 2020, gregret antikorupsi
masyarakat semakin meningkat dengan ditunjukkannya sisi pengalaman yang semakin
antikorupsi, meskipun secara persepsi/penilaian masyarakat masih menganggap
wajar sejumlah hal yang seharusnya hal itu merupakan perilaku korupsi.
Dalam lingkup keluarga, masyarakat Indonesia semakin permisif terhadap korupsi. Hal ini terlihat dari beberapa indikator seperti sikap istri (21,45 persen) yang menganggap wajar manakala suaminya menerima uang tambahan di luar gaji yang diterimanya, tanpa mempertanyakan asal usul uangnya. Persentase tersebut meningkat drastis dibanding perilaku yang sama tahun 2019 (hanya 1,06 persen). Perilaku lainnya seperti seorang ASN (12,96 persen) menganggap wajar atas penggunaan kendaraan dinas untuk keperluan keluarga. Masih ada juga orang tua (7,27 persen) menganggap wajar untuk mengajak anaknya dalam kampanye PILKADA/ PEMILU demi mendapatkan uang lebih banyak.
Ada juga perilaku individu (2,46 persen) mengambil uang milik anggota keluarga lain tanpa seizin pemiliknya dianggap sebagai hal yang wajar, dan ada sebanyak 7,25 persen perilaku individu yang menggunakan barang milik anggota keluarga lain tanpa seizin pemiliknya dianggap sebagai kewajaran. Semua persentase perilaku di atas pada tahun 2020 mengalami peningkatan yang nyata dibanding tahun 2019. Peningkatan persentase jawaban wajar ini menunjukkan masyarakat makin permisif terhadap sikap-sikap di atas yang sebenarnya bertentangan dengan pembangunan karakter antikorupsi.
Dalam
lingkup komunitas, pada tahun 2020 juga didapatkan bahwa masyarakat semakin permisif
terhadap korupsi. Beberapa indikasi terlihat seperti sikap menganggap wajar
sejumlah masyarakat (27,93 persen) memberi uang/barang/ fasilitas kepada ketua
RT/RW/Klian/Kades/Lurah ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan. Demikian
juga pemberian kepada tokoh tertentu yang dianggap wajar (33,76 persen) dalam
kasus yang sama. Indikasi lainnya ada pemberian yang dianggap wajar (20,60
persen) kepada ketua RT/RW/Klian/Kades/ Lurah saat menjelang hari raya
keagamaan, dan kepada tokoh tertentu (29,59 persen). Tercatat
indikator-indikaor ini semua meningkat dibanding tahun 2019. Hal ini
menunjukkan masyarakat yang semakin permisif terhadap perilaku korupsi.
Sebagaimana di dua lingkup sebelumnya, pada tahun 2020 perilaku masyarakat di lingkup publik juga semakin permisif terhadap korupsi. Hal ini seiring dengan kenaikan persentase persepsi kewajaran di semua indikator dibandingkan tahun 2019. Hal ini tampak seperti menganggap wajar atas sikap memberi uang/barang/fasilitas dalam proses penerimaan menjadi ASN/pegawai swasta (4,30 persen), sikap memberi uang/barang/fasilitas kepada petugas untuk mempercepat urusan administrasi kependudukan seperti KTP, KK, SKTM, dan lain-lain (18,37 persen), sikap memberi uang/barang/ fasilitas kepada penegak hukum untuk mempercepat pengurusan SIM, STNK, SKCK, dan lain-lain (15,76 persen).
Perilaku lainnya yang menganggap hal yang wajar dan menunjukkan
perilaku permisif terhadap korupsi adalah sikap pelanggar lalu lintas yang memberi
uang damai kepada polisi (9,51 persen), sikap petugas KUA meminta uang tambahan
untuk transport ke tempat acara akad nikah (13,76 persen), sikap guru mendapat
jaminan (jatah) anaknya diterima masuk sekolah tempat dia mengajar (16,76
persen), sikap pihak sekolah
(guru/ kepala sekolah/komite sekolah) meminta uang/barang/fasilitas dari
orang tua murid ketika kenaikan kelas/penerimaan rapor (9,12 persen), sikap
memberi uang/barang/ fasilitas kepada pihak sekolah agar anaknya dapat diterima
di sekolah tersebut (3,80 persen), sikap peserta PILKADES/ PILKADA/PEMILU
membagikan uang/barang/fasilitas ke calon pemilih (13,82 persen), dan sikap
menerima pembagian uang/barang/fasilitas pada PILKADES/PILKADA/ PEMILU (19,78
persen).
Dari
sisi pengalaman individu dalam mengakses
layanan publik maupun pengalaman lainnya, pada tahun 2020 nilainya meningkat
cukup tinggi dibanding tahun 2019. Meskipun perilaku antikorupsi masyarakat
membaik dalam dimensi ini, tetapi masih ada masyarakat yang membayar melebihi
ketentuan saat mengakses layanan publik.
Persentase kelompok ini hanya sebesar 16,79 persen dari seluruh masyarakat yang
mengakses layanan publik. Sementara itu untuk pelaku usaha yang mengakses
pelayanan publik dan membayar lebih hanya sebesar 19,97 persen. Hasil di atas
menunjukkan bahwa meski terjadi perbaikan namun masih ada peluang terjadinya
pelanggaran ketika masyarakat mengakses layanan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar