Tenaga kerja memegang peranan sangat penting dalam roda perekonomian suatu wilayah. Maju tidaknya suatu wilayah salah satu indikatornya ditentukan oleh kualitas tenaga kerjanya, karena tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi. Banyaknya tenaga kerja dapat meningkatkan perekonomian suatu wilayah, tetapi tidak sedikit pula permasalahan yang dapat ditimbulkannya oleh karena tersedianya banyak tenaga kerja namun
Meningkatnya jumlah angkatan kerja per Agustus 2020, di saat masyarakat Bali diterpa pandemi Covid-19 telah memunculkan masalah ketenagakerjaan baru. Terpuruknya sektor pariwisata Bali telah menyeret sebagian tenaga kerja didalamnya harus bertransisi bekerja di sektor lain untuk bertahan hidup. Dengan mayoritas tenaga kerja berpendidikan SMP yang relatif rendah secara kualitas, dan disisi lain jumlah angkatan kerja yang tidak sebanding dengan kesempatan kerja yang hadir selama pandemi, telah memaksa tenaga kerja bekerja dalam sektor lapangan usaha non unggulan.
Bahkan sebagiannya yang tidak mampu bersaing dan beradaptasi telah menghadirkan pengangguran baru di Bali. Pada Agustus 2020, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 5,63 persen, atau meningkat 4,06 persen dibandingkan TPT Agustus 2019 yang tercatat hanya sebesar 1,57 persen. Terdapat penambahan sekitar 105,21 ribu orang di Bali yang menganggur. Dilihat dari tingkat pendidikannya, TPT untuk SMK/SMA sederajat menjadi yang terbesar mencapai hampir 18 persen, diikuti TPT untuk Diploma I/II/III sebesar 13,15 persen. Peningkatan angka pengangguran terbuka tentunya memberikan beban psikologis tersendiri.
Apalagi hal ini dihadapkan pada data
rasio ketergantungan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan
keadaan ekonomi suatu wilayah apakah tergolong maju atau sedang berkembang. Berdasar
data proyeksi penduduk hasil SUPAS 2015, Bali pada tahun 2020 masih mempunyai rasio
ketergantungan yang cukup tinggi yaitu sebesar 42,30 persen. Hal ini berarti bahwa setiap 100 penduduk usia produktif (15-64
tahun) mempunyai beban tanggungan sebanyak 42- 43 orang yang dianggap belum
produktif (0-14 tahun) atau sudah tidak produktif lagi (65 tahun ke atas).
Semakin
tingginya persentase rasio ketergantungan menunjukkan semakin tingginya beban
yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk
yang belum produktif dan tidak produktif lagi, demikian pula sebaliknya.
Ditinjau dari lima sektor lapangan pekerjaan unggulan di Bali dengan nilai tambah yang disumbangkan mencapai sekitar 64,71 persen terhadap ekonomi Bali pada tahun 2019 yaitu masing-masing Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum (23,26 persen), Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (13,53 persen), Transportasi dan Pergudangan (9,73 persen), Konstruksi (9,63 persen) dan Perdagangan (8,56 persen), maka lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum pada Agustus 2020 hanya mampu menyerap 9,75 persen tenaga kerja atau berkurang 3,52 persen dibanding Agustus 2019. Selain itu distribusi tenaga kerja yang bekerja di sektor transportasi dan pergudangan juga menurun hanya tinggal 2,46 persen setelah sebelumnya sebesar 3,13 persen.
Diduga tenaga kerja yang berasal dari
sektor ini untuk bertahan hidup di masa pandemi bertransisi bekerja dalam
sektor Pertanian yang mampu menyerap total
22,51 persen tenaga kerja, meningkat daya serap tenaga kerjanya dibanding Agustus
2019 yang hanya sebesar 18,75 persen. Sektor Perdagangan juga merupakan salah
satu destinasi sektor transisi yang diperankan oleh sebagian tenaga kerja pada
Agustus 2020 dengan adanya peningkatan distribusi tenaga kerja sebesar 20,45
persen dibanding periode yang sama sebelumnya yang hanya sekitar 19,47 persen.
Diiluar lima sektor unggulan diatas, sektor Industri Pengolahan yang tahun 2019
berkontribusi sebesar 6,03 persen terhadap ekonomi Bali, juga menjadi lapangan usaha
tempat bertransisi atau bertahan hidup selama pandemi dengan distribusi tenaga
kerja sebesar 15,75 persen pada Agustus 2020 atau meningkat dari 14,94 persen pada
Agustus 2019.
Perlu
menjadi perhatian bahwa di tengah pandemi Covid-19, seiring peningkatan jumlah
angkatan kerja di Bali, dan terpuruknya pariwisata di Bali, diperlukan
terobosan yang mampu membuka kesempatan kerja bagi angkatan kerja tersebut. Salah
satu strategi dalam membuka kesempatan kerja adalah dengan pemerataan
pembangunan di daerah sehingga tenaga kerja terdampak pandemi saat sementara
“pulang kampung” dimungkinkan dalam pengembangan akses usaha baru dengan
lingkungan sekitar yang mendukungnya. Hal ini diharapkan berpotensi dalam membuka
peluang lapangan kerja menjadi semakin besar. Perluasan dan penciptaan
kesempatan kerja melalui kebijakan makro seperti di sektor petanian, sektor
perdagangaan, dan sektor industri dapat dilakukan melalui penguatan kelembagaan
koperasi, atau penguatan kelompok yang terdiri dari beberapa Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM). Selain hal tersebut, menjadi hal mendasar bahwa upaya
pengendalian penduduk tetap dilakukan agar pertumbuhan tenaga kerja dengan
kesempatan kerja dapat berimbang.
Penyerapan tenaga kerja secara umum saling terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Keterkaitan keduanya dapat disebut proporsional jika pertumbuhan ekonomi membawa dampak positif dan relatif berimbang terhadap penyerapan tenaga kerja.Hal sebaliknya bisa saja terjadi manakala pertumbuhan ekonomi terkontraksi yang berdampak penyerapan tenaga kerja menjadi tidak optimal. Pertumbuhan ekonomi yang baik pada umumnya dapat ditransformasikan menjadi peningkatan kapabilitas manusia terhadap penciptaan lapangan kerja atau usaha. Dari lapangan kerja yang tercipta pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan rumah tangga.
Jika kualitas manusia meningkat maka akan
berdampak pada kualitas tenaga kerja yang bakal berpengaruh terhadap tingkat
dan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa secara proporsional, pertumbuhan ekonomi dapat
mempengaruhi ketenagakerjaan baik dari permintaan (dalam menciptakan lapangan
kerja) maupun dari sisi penawaran (dalam keharusan meningkatkan kualitas tenaga
kerja). Kontraksi
pertumbuhan ekonomi yang saat ini berlangsung, benar-benar menguji ketangguhan
segenap elemen masyarakat untuk bertahan hidup, menciptakan lapangan kerja
baru, bahkan bangkit menuju pemulihan ekonomi.
Menengok ekonomi Indonesia pada triwulan III 2020 (terkontraksi 3,49 persen secara y-on-y), yang secara resmi telah masuk dalam resesi ekonomi, adalah hal yang tidak mengagetkan karena beberapa negara maju dan mapan ekonominya telah mengumumkan kondisi yang serupa sebelumnya. Hal terberatnya adalah Provinsi Bali menjadi provinsi paling dalam mengalami resesi ekonomi dengan kontraksi ekonomi di triwulan III 2020 mencapai 12,28 persen. Hal ini terjadi karena pandemi berdampak sangat keras pada sektor pariwisata yang menjadi sektor primadona dan andalan selama berpuluh-puluh tahun bagi masyarakat Bali.
Dialektika
kebangkitan ekonomi bali dengan maksud menggeser arus utama ekonomi bali ke
arah seperti sektor pertanian, sektor industri, atau perdagangan sepertinya
hanya bersifat bertahan sementara. Ikhtiyar masyarakat dalam pergeseran arus
ekonomi yang dikarenakan situasi krisis akibat pandemi ini jauh kondisinya dari
kibar kilau terang ekonomi bali saat
pariwisata bali menggeliat. Kebangkitan ekonomi bali akan sangat berkorelasi
pada pemulihan pariwisata bali yang telah berpuluh-puluh tahun menjadi
lokomotif pembangunan ekonomi Bali.
Menengok makna pertumbuhan ekonomi sejatinya keberhasilannya bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang dihasilkan. Namun demikian, secara konseptual fokus terhadap pembangunan ekonomi yang bermakna dan bersifat kualitatif, yaitu bukan hanya dari pertambahan produksi tetapi juga dari perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan alokasi input dari berbagai sektor perekonomian yang hadir menjadi hal yang tidak harus terabaikan.
Menurut pelopor ilmu ekonomi modern, Adam
Smith, pembangunan ekonomi merupakan proses perpaduan antara pertumbuhan
penduduk (yang berkaitan dengan pendapatan perkapita) dan kemajuan teknologi.
Disebutkan juga oleh Prof Meier, bahwa pembangunan ekonomi merupakan proses
kenaikan pendapatan riil perkapita dalam suatu jangka waktu yang panjang. Jika
pengertian pertumbuhan ekonomi adalah sebuah upaya dalam meningkatkan jumlah
produksi barang atau jasa pada sebuah wilayah, maka pembangunan ekonomi adalah
suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu masyarakat
meningkat dalam jangka panjang dengan perubahan ciri-ciri penting masyarakat,
yaitu perubahan baik dalam hal teknologi, pola pikir masyarakat maupun
kelembagaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar