Kenaikan tingkat kemiskinan pada Maret 2020 secara umum di Indonesia baik skala jumlah dan persentase, rupanya tak luput dari dampak luar biasa yang dihadirkan oleh pandemi Covid-19. Rilis data profil kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik terbaru pada tanggal 15 Juli 2020 yang merupakan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan pada bulan maret 2020 menginformasikan fenomena atas fakta tersebut. Naiknya tingkat kemiskinan akibat dampak pandemi Covid-19 pada pendataan tersebut sudah dapat terpotret, meskipun
Dampak pandemi Covid-19 telah menghadirkan perubahan atas perilaku, aktivitas ekonomi, dan pendapatan penduduk yang pada saat ini berujung pada munculnya tambahan orang miskin baru. Berdasarkan rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia mengalami kenaikan dari 9,22 persen pada September 2019 menjadi 9,78 persen pada Maret 2020. Persentase penduduk miskin Maret 2020 ini setara dengan 26,42 juta penduduk miskin.Jika dibandingkan dengan penduduk miskin September 2019, naik sebesar 1,63 juta penduduk, sedangkan jika dibandingkan dengan penduduk miskin Maret 2019, naik sebesar 1,28 juta penduduk.
Kenaikan kemiskinan ini juga terjadi di Provinsi
Bali oleh karena sektor pariwisata yang
menjadi andalan berikut pendukungnya seperti hotel, penginapan, rumah makan,
pengrajin kriya, transportasi, dan sebagainya terdampak hebat karena pandemi
Covid-19. Tercatat persentase penduduk miskin di Bali pada Maret 2020 sebesar
3,78 persen, naik 0,17 persen dibandingkan dengan posisi September 2019.
Persentase penduduk miskin di Bali pada bulan Maret 2020 setara dengan 165,19
ribu penduduk atau bertambah sekitar
8,3 ribu penduduk dibandingkan jumlah
penduduk miskin pada
September 2019.
Pendidikan sangat krusial bagi tiap individu dan semestinya menjadi individu yang berpendidikan terwariskan dari generasi ke generasi sebagai investasi dalam memasuki dunia kerja dan perekonomian global yang semakin dinamis dari masa ke masa. Betapa tidak demikian, karena rendahnya kualitas pendidikan akan menyebabkan seseorang hanya mampu mengakses lapangan kerja dengan produktivitas dan upah (pendapatan) yang rendah sehingga kemampuan untuk meningkatkan standar hidup menjadi terhambat dan kecenderungan menjadi miskin meningkat.
Menurut
Jeffrey Sachs di
dalam bukunya The
End of Poverty,
salah satu mekanisme dalam
penuntasan kemiskinan ialah pengembangan human capital terutama pendidikan dan kesehatan (Sachs,2005). Bapak
Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah pula mengemukakan bahwa hakikat
pendidikan adalah sebagai usaha orang tua bagi anak-anaknya untuk
menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan ruhani
dan jasmani yang ada pada anak-anaknya (Darmaningtyas,1999).
Dalam publikasi BPS, Penghitungan dan Analisis Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2019, yang bersumber pada hasil pendataan Susenas Maret 2019, menyebutkan bahwa tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin lebih rendah dibanding rumah tangga tidak miskin. Secara umum, fenomena ini serupa baik di perkotaan maupun di perdesaan dengan persentase rumah tangga miskin di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Dilihat dari pendidikan kepala rumah tangga miskin di Indonesia, tercatat 36,92 persen tidak tamat SD; 36,62 persen tamat SD sederajat, 14,19 persen tamat SMP sederajat; 11,12 persen tamat SMA sederajat; dan hanya 1,15 persen tamat PT yang tergolong sebagai rumah tangga miskin. Dengan gambaran ini, upaya mendorong masyarakat agar meningkatkan pendidikan yang ditempuh ditambah kualitas pendidikan yang baik harus selalu digaungkan.
Dengan pendidikan yang baik, setiap
orang memiliki bekal pengetahuan
dan keterampilan, mempunyai pilihan
untuk mendapat pekerjaan, ataupun mampu menjadi lebih produktif
sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Fakta lain yang perlu disadari
bahwa karakteristik penduduk hampir miskin mayoritas bekerja di sektor informal
yang rentan jatuh dan berkubang dalam kemiskinan. Sementara itu, untuk masuk
dan bekerja di sektor formal yang mampu mengakses lapangan kerja dengan
produktivitas dan upah (pendapatan) yang tinggi pada umumnya dibutuhkan
pendidikan yang lebih tinggi. Perlu diyakini bahwa pendidikan dapat memutus
mata rantai kemiskinan untuk kemudian
meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam perspektif kehidupan bernegara, negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan layanan pendidikan bagi setiap warganya, setidaknya untuk jenjang pendidikan dasar. Dari 30 macam hak asasi manusia yang dicetuskan pada Deklarasi Universal HAM PBB 1948, salah satunya menyebutkan bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh setiap negara, tak terkecuali anak yang berkebutuhan khusus. Karena itu penyediaan akses pada pendidikan, khususnya pendidikan dasar sudah harus menjadi komitmen semua negara. Pemerintah Indonesia terus berupaya meningkatkan pemerataan pendidikan, terutama bagi kelompok masyarakat miskin yang selama ini tidak bisa sekolah atau drop out karena berbagai alasan.
Pemerintah Indonesia senantiasa menggulirkan berbagai program pendidikan guna menghadapi permasalahan ini sebagaimana dilansir dari laporan program bantuan pemerintah untuk individu, keluarga, dan kelompok tidak mampu menuju bantuan sosial terintegrasi oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Jenis program yang pemerintah gulirkan di bidang pendidikan diantaranya yaitu Program Indonesia Pintar (PIP), Program Beasiswa Pendidikan Bagi Masyarakat Miskin (Bidikmisi), Program Pendidikan Kecakapan Kerja Unggulan (PKKU), Program Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW), dan Program Pendidikan Kecakapan Wirausaha Unggulan (PKWU).
Implementasi
penerapan lapangan berbagai program tersebut yang tepat sasaran oleh pihak
pelaksana yang bertanggung jawab, dalam hal ini seperti Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan perpanjangannya di daerah menjadi kunci
terwujudnya pemerataan pendidikan. Informasi berbagai program tersebut penting
untuk dapat terinformasikan hingga masyarakat terbawah sehingga masyarakat
tidak khawatir dan gamang untuk memutuskan anaknya agar sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. Perlu disadari pula bahwa, di tengah penerapan tata kehidupan
yang baru di masa pandemi Covid-19, guna mengerek pertumbuhan ekonomi, harus ditopang dan diperlukan pula tenaga kerja
terdidik, yang punya pengetahuan
dan keterampilan, serta menguasai teknologi untuk
meningkatkan produktivitas. Untuk hal ini, negara harus benar-benar
mampu menyediakan layanan pendidikan
kepada setiap warganya secara merata
dan adil. Jika tidak,
bangsa Indonesia akan mengalami keterbelakangan yang membuat
kehidupan masyarakat makin jauh
dari sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar